Harga Sebuah Pilihan
Berani mati itu ga keren
Yang keren itu,berani untuk hidup
Kenapa? Karena sudah terlalu banyak orang yang mengklaim bahwa mereka tidak takut mati. Tapi,alasan mereka menyatakan keberanian tersebut itu apa? Menurut saya pribadi,alasan mereka cuma karena takut hidup. Buat mereka,hidup terlalu menakutkan untuk dihadapi. So,coba pikir,lebih hebat mana? Yang berani mati atau yang berani hidup?
Ketika seseorang memutuskan untuk mati,berarti dia memutuskan untuk berhenti berjuang. Berhenti memperjuangkan hal-hal yang sebelumnya memberi arti untuk tetap hidup.Terlalu takut untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi.
Bagi saya,kemungkinan adalah kemungkinan..alias bisa kejadian,bisa juga tidak. Tapi antisipasi tetaplah diperlukan untuk segala sesuatu. Berjaga-jaga itu harus. Untuk setiap pilihan yang kita buat,ada harga yang harus kita bayar. Suka atau tidak. Mau atau tidak.
Keputusan saya bertahan disituasi saat ini adalah karena fleksibilitas yang diperlukan untuk anak saya. Dan harga yang harus saya pertaruhkan adalah kesehatan mental dan fisik saya. Saya tidak bilang berada di tempat ini terlalu berat. Hanya saja lingkungan berpengaruh untuk setiap hal. Anda ga percaya? Cobalah tinggal di tempat yang terpapar radiasi tingkat tinggi. Suatu hal yang mustahil anda tidak terpengaruh sama sekali. Sama seperti yang saya alami.
Kesehatan mental saya berpengaruh pada fisik saya. Perpindahan divisi dan tanggung jawab kerja tidak menyebabkan pengaruh yang signifikan sebenarnya buat saya. Tapi perubahan anggota divisi dan lingkungannya lumayan menyerang mental saya. Dua tahun lebih di divisi ini,setiap tahunnya saya berhadapan dengan dokter spesialis. Bukan,bukan psikiater sih..klo bisa jangan sampai.
Stress mental yang saya alami karena harus berhadapan dengan anggota divisi baru saya,menyerang imunitas saya. Dan mengakibatkan saya terkena virus dan mengalami perdarahan berkali-kali setiap bulan.
See....stress ga bisa dianggap sepele,kan?
Saya sudah mencoba membicarakan keputusan saya untuk resign dan pindah kerja dengan anak saya,meski dia keberatan. Saya mencoba mempertimbangkan keputusan saya kembali. Tapi makin ke sini,stress saya makin menjadi. Jika awalnya hanya menyerang imunitas tubuh dan membuat siklus haid saya berantakan parah,sekarang saya malah sering merasakan sakit di dada.
Amit-amit sih,ya..tapi membaca banyaknya kaum pekerja muda yang aktif yang tiba-tiba saja tumbang karena serangan jantung,membuat nyali saya ciut >___<
Sekarang,saya merencakan untuk bicara kembali dengan anak saya. Saya tahu,keputusan saya akan mempengaruhi dia juga. Dan anak saya layak untuk dilibatkan. Akan ada banyak perubahan dan penyesuaian bagi saya dan dia. Selain jarak tempuh ke tempat kerja yang lebih jauh buat saya,waktu saya untuk menemuinya pun akan semakin berkurang. Urusan finansial memang tidak terlalu berubah. Alias gajinya ga beda jauh.Tapi semoga langkah yang saya ambil adalah yang terbaik,untuk kesehatan saya,juga untuk masa depan anak saya kelak.
Wish me luck..
Yang keren itu,berani untuk hidup
Kenapa? Karena sudah terlalu banyak orang yang mengklaim bahwa mereka tidak takut mati. Tapi,alasan mereka menyatakan keberanian tersebut itu apa? Menurut saya pribadi,alasan mereka cuma karena takut hidup. Buat mereka,hidup terlalu menakutkan untuk dihadapi. So,coba pikir,lebih hebat mana? Yang berani mati atau yang berani hidup?
Ketika seseorang memutuskan untuk mati,berarti dia memutuskan untuk berhenti berjuang. Berhenti memperjuangkan hal-hal yang sebelumnya memberi arti untuk tetap hidup.Terlalu takut untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi.
Bagi saya,kemungkinan adalah kemungkinan..alias bisa kejadian,bisa juga tidak. Tapi antisipasi tetaplah diperlukan untuk segala sesuatu. Berjaga-jaga itu harus. Untuk setiap pilihan yang kita buat,ada harga yang harus kita bayar. Suka atau tidak. Mau atau tidak.
Keputusan saya bertahan disituasi saat ini adalah karena fleksibilitas yang diperlukan untuk anak saya. Dan harga yang harus saya pertaruhkan adalah kesehatan mental dan fisik saya. Saya tidak bilang berada di tempat ini terlalu berat. Hanya saja lingkungan berpengaruh untuk setiap hal. Anda ga percaya? Cobalah tinggal di tempat yang terpapar radiasi tingkat tinggi. Suatu hal yang mustahil anda tidak terpengaruh sama sekali. Sama seperti yang saya alami.
Kesehatan mental saya berpengaruh pada fisik saya. Perpindahan divisi dan tanggung jawab kerja tidak menyebabkan pengaruh yang signifikan sebenarnya buat saya. Tapi perubahan anggota divisi dan lingkungannya lumayan menyerang mental saya. Dua tahun lebih di divisi ini,setiap tahunnya saya berhadapan dengan dokter spesialis. Bukan,bukan psikiater sih..klo bisa jangan sampai.
Stress mental yang saya alami karena harus berhadapan dengan anggota divisi baru saya,menyerang imunitas saya. Dan mengakibatkan saya terkena virus dan mengalami perdarahan berkali-kali setiap bulan.
See....stress ga bisa dianggap sepele,kan?
Saya sudah mencoba membicarakan keputusan saya untuk resign dan pindah kerja dengan anak saya,meski dia keberatan. Saya mencoba mempertimbangkan keputusan saya kembali. Tapi makin ke sini,stress saya makin menjadi. Jika awalnya hanya menyerang imunitas tubuh dan membuat siklus haid saya berantakan parah,sekarang saya malah sering merasakan sakit di dada.
Amit-amit sih,ya..tapi membaca banyaknya kaum pekerja muda yang aktif yang tiba-tiba saja tumbang karena serangan jantung,membuat nyali saya ciut >___<
Sekarang,saya merencakan untuk bicara kembali dengan anak saya. Saya tahu,keputusan saya akan mempengaruhi dia juga. Dan anak saya layak untuk dilibatkan. Akan ada banyak perubahan dan penyesuaian bagi saya dan dia. Selain jarak tempuh ke tempat kerja yang lebih jauh buat saya,waktu saya untuk menemuinya pun akan semakin berkurang. Urusan finansial memang tidak terlalu berubah. Alias gajinya ga beda jauh.Tapi semoga langkah yang saya ambil adalah yang terbaik,untuk kesehatan saya,juga untuk masa depan anak saya kelak.
Wish me luck..
Komentar
Posting Komentar