Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2018

Cerita hari Ini

Ketika rekan kantor lainnya sibuk baca dan komen kisah pembunuhan atau penemuan jasad bayi yang dibuang,saya bersikap biasa aja. Entah kenapa, topik tentang manusia terasa terlalu malesin buat saya.. Kalau saya baca pun,reaksi saya biasa aja. Kecuali topik kekerasan pada anak,setidaknya saya punya reaksi yang lebih responsif. Selebihnya,nothing to says lah.. Topik yang menyita perhatian dan perasaan saya adalah tentang kekejaman manusia pada hewan. Tidak,saya bukan seorang vegetarian karena saya penyayang hewan garis keras. Selayaknya manusia normal lainnya,saya masuk kategori pemakan segala yang dihalalkan oleh agama. Hanya saja,respon manusia lainnya pada binatang yang bukan sewajarnya sangat memancing emosi saya. Kadang,hanya membaca clickbait dari suatu tulisan dan melihat gambarnya sekilas saja,bisa membuat dada saya sesak dan mata berkaca-kaca. Bagaimana bisa,makhluk ciptaan Tuhan yang katanya paling sempurna malah mendzalimi makhluk lain yang posisinya jauh lebih lemah dariny

Harga Sebuah Pilihan

Berani mati itu ga keren Yang keren itu,berani untuk hidup Kenapa? Karena sudah terlalu banyak orang yang mengklaim bahwa mereka tidak takut mati. Tapi,alasan mereka menyatakan keberanian tersebut itu apa? Menurut saya pribadi,alasan mereka cuma karena takut hidup. Buat mereka,hidup terlalu menakutkan untuk dihadapi. So,coba pikir,lebih hebat mana? Yang berani mati atau yang berani hidup? Ketika seseorang memutuskan untuk mati,berarti dia memutuskan untuk berhenti berjuang. Berhenti memperjuangkan hal-hal yang sebelumnya memberi arti untuk tetap hidup.Terlalu takut untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi. Bagi saya,kemungkinan adalah kemungkinan..alias bisa kejadian,bisa juga tidak. Tapi antisipasi tetaplah diperlukan untuk segala sesuatu. Berjaga-jaga itu harus. Untuk setiap pilihan yang kita buat,ada harga yang harus kita bayar. Suka atau tidak. Mau atau tidak. Keputusan saya bertahan disituasi saat ini adalah karena fleksibilitas yang diperlukan untuk ana

Emansipasi atau Eman si Sapi

"Makanan di tempat anu enak ya..kemarin gw udah nyobain." "Iya,sih...Tapi itu kan harganya mahal ?!" .......... Krik krik krik Ga bisa jawab. Ya iyalah,soalnya situ kan ga merasakan bayar alias keluar uang. Yang bayar pasangannya. Dirimu tinggal datang,duduk,pesan dan makan. Beuh,nikmatnya hidup. Ini semacam emansipasi bukan sih?! Saya bukannya nyinyir,tapi ini semacam pesan buat anak saya saat dia besar nanti. Semoga kamu ga jadi wanita yang bikin Kartini malu,ya,Nak.. Lahir dikeluarga yang memiliki garis campuran alias ga jelas,bikin saya ngerasain yang namanya krisis identitas. Mama papa saya campuran antara Manado yang berkulit putih dengan cina Betawi yang coklat dan ga sipit. Lalu besar di lingkungan muslim hingga saya lulus SMA. Terlibat kegiatan ekskul dengan beragam kegiatan membumi banget. Dan sekarang saya bekerja didivisi yang isinya perempuan cina semua. Klo mau menggambarkan bentuk saya,kulit saya ga putih banget kayak cina,tapi orang mengatakan

Kita (Bukan) Teman

Teman,bukan yang ketawa-ketiwi bareng. Bukan yang jalan bareng dan ngomongin orang bareng. Yang haha-hihi bareng. Kalau definisi teman sesimple itu,maka jumlah temen saya pasti banyak banget. Sayangnya,saya ga segampangan itu *kibas rambut* Udah terlalu banyak fake friend di dunia inih,pemirsah.. Yang saat kumpul bareng keliatan kayak sahabat sejati,secemara,sepinus *apaan sih?* Ngomongin si anu sambil ketawa heboh,sumpahin artis itu kayak dirinya paling bener sedunia. Bahas kelebihan pasangan dan total harta yang bisa dipakai buat usaha dengan gaya sok merendah. Bahas kemaren abis libur main ke emol mana,beli minum apa,makan apa dan harganya berapa. Ketika mereka ketawa-ketiwi heboh ngomongin begituan,saya di pojokan ngemil sukro sambil ngelap ingus *miris* Atau acara pura-pura merendahkan diri sambil meninggikan mutu..maksudnya apa coba? Situ ga usah ngapa-ngapain juga,keliatan kok aslinya dalam keseharian. Ga usah ngomong pakai toa,umbar segala sesuatu tentang hidup anda.  Pas

Ga Posting Ga Happy

Zaman now,siapa yang ga punya instagram?Siapa yang ga punya twitter? Siapa yang ga main Tik Tok? Mungkin,klo dapet pertanyaan kayak gitu cuma gw seorang yang ngacung alias angkat tangan kali,ya..Yup,gw ga punya Instagram sejak pertama kali aplikasi sharing gambar dan video itu lahir ke tengah peradaban ini. Dan yup juga,gw ga pernah main Twitter. Pas zaman seru-serunya twit war,gw sama sekali ga ngerti apa perlunya punya Twitter >_____< Padahal anak gw aja punya,lho..Dasar,emak-emak ga gaul.*Bahh* Lagipula,setelah gw pikir-pikir perlunya punya aplikasi kayak gitu tuh apa? Gw suka foto,tapi bukan selfie. Muka gw lebar begini,boros buat dipajang di layar handphone. Lebih nyaman ala-ala candid gitu. Gw suka jalan-jalan dan makan,tapi perlunya apa orang tau apa yang gw makan atau gw lagi di mana dan ngapain? Gw pan bukan artis. Gw ga suka pamer-pamer segala macem hal kayak gitu. Sesekali,gw sama pasangan emang pajang foto. Tapi bisa diitung pakai jari sebelah tangan aja jumlah pos

Penting Ga Penting

Hari ini di kantor ada tes -lagi- untuk semua karyawan. Dimulai dari divisi gw,accounting. Jujur,malesin banget deh kalo berurusan sama hal-hal macam gini. Tujuannya apa,coba? Kalo hasil tes loe bagus,trus jadi naik gaji gitu? Atau kalo hasilnya jelek,loe bakalan dipecat dari perusahaan karena hasil jelek menandakan kalo loe tuh bego?!Arggghhh... Alasan kantor gw ngadain tes lagi adalah, karena manajemen perusahaan beli sistem baru untuk diujikan saat seleksi penerimaan karyawan baru. Dan sebelum dilaunching buat ngetes orang baru,maka dicoba dulu pada karyawannya.Jadi intinya,gw dan rekan kerja lainnya adalah sejenis kelinci ga imut yang diuji coba untuk suatu produk besutan teranyar. Emang tesnya apaan,sih? Ya,biasalah..kayak tes-tes yang biasa loe temuin pas baru lamar kerja gitu. Ada psikotes,ada hitung-hitungan,dan segala macam. Buat gue,kalo untuk psikotes yang berhubungan dengan kepribadian gitu ga masalah. Kebetulan udah beberapa kali tes psikotes,dan gue lulus sesuai penempa

Ilmu Ikhlas

Ilmu ikhlas tidak datang pada mereka yang memang punya kemampuan untuk kehilangan tanpa harus meratap atau menyesal. Coba perhatikan,pada zaman nabi dulu ketika diminta untuk mengorbankan anak lelaki satu-satunya yang ditunggu lama. Ingat,itu anak satu-satunya. Sebagai orang tua,bagaimana perasaan sang bapak? Di mana pada masa itu,anak lelaki adalah tampuk harapan dan kebanggaan sebuah keluarga. Yang akan mewarisi seluruh hal tentang orang tua,baik harta maupun kedudukannya dalam masyarakat. Lalu bergeser ke zaman ini,ilmu ikhlas tidak datang pada mereka yang secara materi berkecukupan,secara status kepemilikan atas apa pun bisa dibilang berlebih. Tidak. Mereka yang diuji adalah mereka yang dalam keadaan bisa dikatakan kurang,atau bahkan sangat kurang. Karena,bukankah sesuatu lebih terasa berharga ketika kita memilikinya sedikit? Ketika kita dikelilingi dalam semua kecukupan,rasanya segala sesuatu tampak biasa saja. Seperti udara dan air. Pernah berpikir tentang mereka yang tergelet